Label

Selasa, 09 Februari 2010

Air Tanah


Kami tiba di stasiun Jatinegara sekitar jam 7 pagi. Telah menunggu dua mobil jemputan di depan stasiun, satu Daihatsu Luxio warna hitam dan satu Daihatsu Xenia warna perak. Acara kami ke Jakarta hari itu adalah untuk menghadiri pernikahan salah satu teman Jurusan sekaligus jalan-jalan. Kami segera meletakkan barang bawaan kami ke dalam mobil. Mobil Xenia yang kami naiki terasa sempit karena biasanya mobil itu hanya muat 7 orang plus sopir. Akan tetapi saat itu kami ada 8 orang plus sopir. Aku duduk di jok belakang bertiga, 4 orang berdesakkan duduk di jok tengah, sedang 1 orang lagi duduk di depan bersama sopir.
 
Mobil pun melaju menuju wisma yang telah kami booking yaitu wisma Pusat Bahasa Universitas Negeri Jakarta. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke wisma. Wisma yang kami tempati itu terlihat sederhana saja, seperti wisma-wisma yang dimiliki oleh Universitas Negeri yang lain. Namun wisma ini lebih baik daripada wisma kampusku yang terlihat kumuh dan tak tertata rapi. Kebetulan aku dapat kamar di lantai 2 bersama salah satu karyawan prodiku. Ketika aku masuk ke dalam, kamarnya terlihat bersih. Ada 2 tempat tidur di situ yang terpisah dengan meja dan kursi di tengahnya. Aku memilih tempat tidur yang berada di sebelah pintu masuk. Di sebelah tempat tidurku ada lemari besar untuk menyimpan pakaian. Di pojok sebelah kanan pintu masuk ada kamar mandi. Pas di depan kamar mandi ada tempat gantungan handuk.

Aku letakkan tasku di samping meja kemudian aku merebahkan diri ke tempat tidur. Capek sekali rasanya, naik Kereta Api (KA) Bisnis Gumarang selama sekitar 12 jam. Selagi merebahkan diri di atas tempat tidur, aku ngobrol dengan teman sekamarku selama kurang lebih 1 jam. Setelah itu aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ketika aku masuk di dalam kamar mandi, aku melihat keran air dari plastik tepat di depanku. Di bawahnya terdapat ember air plastik yang berisi sedikit air. Di samping kanan ember tersebut terdapat kloset duduk untuk buang air besar. Di depan kloset itu terpasang sebuah wastafel dengan cermin di atasnya. Aku berjalan ke wastafel tersebut dan meletakkan alat-alat mandiku yang aku bawa dari rumah diatasnya. Setelah melepas pakaian aku membuka keran air dan meraih gayung yang ada di dalam ember plastik tadi. Aku mulai mandi. Saat air menyentuh tubuhku, aku merasa airnya dingin. Tapi lama-kelamaan airnya jadi hangat. Aku merasa aneh karena sejak tadi pagi, matahari tertutup awan alias mendung jadi nggak mungkin airnya jadi hangat. Lalu terlintas di benakku kalau kamar mandinya dilengkapi dengan pemanas sehingga aku nggak memikirkan masalah itu lagi. Setelah membasahi seluruh tubuhku, aku menganbil sabun cair dan washlap yang biasa aku gunakan dan mulai membersihkan badanku. Aku menyiram tubuhku dengan air untuk membersihkan sabun yang telah aku basuhkan ke badanku tadi. Aku menyiramnya beberapa kali tapi badanku masih terasa licin. Sabunnya masih terasa menempel di tubuhku. Aku coba bersihkan sekali lagi, namun tetap saja nggak bisa keset. Karena tidak bersih-bersih juga, aku langsung mengambil handuk dan menyeka badanku lalu berpakaian.

Saat sedang santai, aku iseng-iseng bertanya kepada salah seorang teman.
"Waktu mandi tadi kok terasa nggak bisa bersih ya? Apa karena sabun cairku yang nggak bagus? Airnya juga terasa hangat. Apa ada pemanasnya?" Begitu pikirku pada awalnya.
"Sama, aku juga begitu. Memang nggak akan bisa keset. Disini pake air tanah dan airnya berbeda dengan di Surabaya. Kalau nggak salah orang menyebutnya air sadah." Jawabnya menjelaskan.
"Trus, kenapa kok airnya terasa hangat?" Tanyaku lebih lanjut.
"Ya itu tadi. Jenis tanahnya yang berbeda. Tanahnya cenderung hangat." Jawabnya meyakinkanku.

Sebenarnya aku belum puas dengan jawaban dia. Aku ingin tahu lebih banyak lagi, tapi sampai sekarang aku belum menemukan orang yang bisa menjelaskan secara detail dan ilmiah.